Kita cukup sering merayakan Jakarta dengan air mata; perihal gigih perjuangan, adu cepat naik jabatan, sikut-sikutan… atau lebih sering karena perpisahan.
Namun aku tetap berdoa. Pun sebelum aku mengirim pesan perihal kepergianmu yang selalu tak bisa kau eja karena kepalamu setebal batu sehingga waktu cuma memberiku luka paling runcing.
Aku sudah sangat jauh melupakan kisah sedih dari sebuah kepergian yang brengsek, yang terkadang bisa sangat membahayakan kesehatan. Itu sudah berlangsung cukup lama, sampai pada hari ini kau memantiknya lagi.